Jumat, 20 Desember 2013

Mengendalikan Lisan

Lisan sebagaimana ditulis oleh Imam Abdullah bin alawi Al Haddad adalah salah satu nikmat terbesar Allah SWT yang memiliki banyak manfaat jika mampu dikendalikan dan digunakan sesuai dengan perintah NYA. Namun sebaliknya jika lisan digunakan secara sembarangan tanpa kontrol maka ia akan banyak mengundang petaka dan kerugian.

Allah SWT menciptakan lisan agar kita banyak berdzikir mengingat-NYA, membaca kitab NYA, mengajak mereka berbuat kebaikan, memberi informasi menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi kepada NYA dan untuk mengungkapkan isi hati kita menyangkut urusan yang terkait dengan agama atau dunia. Jika lisan digunakan untuk kepentingan di atas maka kita termasuk orang yang mampu bersyukur atas nikmat lisan tersebut.
Sebaliknya jika digunakan tidak sebagaimana mestinya berarti kita termasuk orang yang zalim dan melanggar batas yang telah digariskan Allah SWT. Dalam kaitannya dengan upaya pengendalian lisan, Imam As suythi dalam Al Jami' Asshaghir menyebut hadits Rasulullah SAW yang bersumber dari Ibnu 'Umar Al Hakim dari Ibnu Abbas yang artinya "Sesungguhnya Allah SWT berada dekat lisan setiap orang yang berbicara. Karenanya hendaklah seorang hamba bertaqwa kepada NYA dan menimbang apa yang hendak dikatakannya".
Maksud Allah SWT berada dekat lisan setiap orang berbicara adalah Allah SWT mengetahui apa yang diucapkannya, sebab Allah SWT tidak membutuhkan tempat yang nota bene makhluk ciptaan NYA.

Dalam hadits diatas  Rasulullah SAW menyuruh kita  sebelum berbicara untuk menimbang apa yang hendak akan dilontarkan lisan itu memberi manfaat kepada kita atau justru mencelakakan kita? Sebab apa yang keluar dari lisan kita akan dicatat dan dipertanyakan kelak di hari akhirat. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat Qaf ayat 18  artinya "Tiada suatu  ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat  Pengawas yang selalu hadir". 
Dan dalam Surat  Al Isra' ayat 36 yang artinya "..dan janganlah kamu mengikuti apapun yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengar, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabannya".

Dalam Riyadlusshalihin Imam An Nawawi menyatakan bahwa setiap orang mukallaf (muslim, baligh dan berakal) sepatutnya menjaga lisannya dari ucapan apapun kecuali ucapan yang nyata- nyata memberikan dampak posisitif. Jika timbangan antara berbicara dan diam. Karena mengumbar kata- kata yang pada dasarnya diperkenankan, bisa saja mendorong mengucapkan kata- kata yang haram atau makruh.

Diam dalam situasi seperti ini akan menjamin keselamatan yang tidak ternilai harganya yaitu keselamatan dari dosa. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda yang artinya "Siapapun yang beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat maka hendaklah berkata baik atau diam".
Hadits ini memberikan indikasi yang jelas bahwa hanya ucapan yang positif yang sepatutnya diucapkan. Positif  dalam arti mengandung kemaslahatan yang nyata, jika diragukan memberikan kemaslahatan yang nyata maka sebaiknya tidak perlu berbicara.

Memandang betapa pentingnya mengendalikan lisan. Rasulullah SAW sampai berani memberikan jaminan masuk surga bagi siapapun yang mampu menjaga lisannya. Beliau bersabda yang artinya "Siapapun yang berkomitmen kepadaku untuk menjaga lisan dan alat kelaminnya maka aku menjamin surga untuknya".

Demikianlah janji Rasululllah SAW terhadapa siapapun yang mampu mengendalikan lisannya dari tindakan yang dilarang Allah SWT seperti berbohong, menggunjing, menghina, dan mengkafirkan sesama muslim menyangkut perkara khilafiyyah , apalagi mengkafirkan para sahabat Beliau yang telah berjuang bersama beliau menyebarkan dan mempertahankan agama Islam.
Sebagaimana beliau juga menjamin masuk surga bagi siapapun yang mampu menjaga alat kelaminnya dari tindakan zina dan sejenisnya yang diharamkan oleh Allah SWT. Wallahu'Alam
(disadurkan oleh Habib Miqdad Baharun dalam Buletin Dakwah "HAWARIY JABAR"  edisi XXIII Shafar 1435 H/ Desember 2013) 
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar